Jika
diteliti lebih lanjut, penyebab konflik kemungkinan besar disebabkan karena
adanya hasutan atau provokasi dari pihak yang tidak ingin melihat Indonesia
damai. Selain itu kurangnya pengetahuan akan kebangsaan pada masyarakat dapat
membuat masyarakat dengan mudah diadu domba. Ada juga orang yang terlalu
memaksakan ide-idenya tanpa mau mendengarkan pendapat orang lain. Tidak sedikit
ide – ide atau pemikiran yang dikemukakan cenderung mementingkan golongan
sendiri daripada kepentingan bangsa. Mau tidak mau pemikiran seperti itu
mendapatkan tentangan dan akhirnya berujung konflik. Sudah banyak contoh kasus dari
adanya gesekan ide atau pemikiran seperti DI/TII, PRRI/Permesta, G30S/PKI, GAM,
OPM dan lain-lain. Pergolakan-pergolakan seperti itu terus terjadi hingga detik
ini. Masih ada saudara kita yang ingin berpisah dari NKRI karena merasa
memiliki warna kulit yang berbeda. Hal tersebut sangat bertentangan dengan
semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang
menghedaki diterimanya setiap perbedaan.
Masih
ada waktu untuk memperbaiki semua ini sebelum “penyakit” ini meluas dan menjadi
akut. Ada beberapa langkah yang harus bangsa ini ambil jika tidak mau hancur
karena tidak mampu menyikapi perbedaan dengan bijak. Pertama, perlu
ditanamkannya arti Indonesia yang sesungguhnya dengan memberikan wawasan
kebangasaan pada generasi muda. Konsep kebangsaan Indonesia sudah terkandung
dalam Pancasila dan pembukaan Undang – Undang Dasar 1945. Inti dari konsep
tersebut adalah bangsa Indonesia menolak segala diskriminasi, suku, ras,
asal-usul, keturunan, warna kulit, kedaerahan, golongan, agama dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kedudukan maupun status sosial[1]. Jadi
jika kita berbicara tetang Indonesia, pikiran kita otomatis membayangkan negara
yang bebas dari diskriminasi karena bangsanya dapat saling memahami dan
memaklumi keberagaman. Konsep kebangsaan itu juga harus dijiwai sehingga kita
akan selalu merasa bahwa kita adalah bangsa besar yang dengan arif dan
bijaksana saling membantu tanpa melihat perbedaan.
Kedua,
menjaga nilai-nilai kebersamaan yang sudah ada dari zaman sebelum kemerdekaan. Sejak
dahulu bangsa Indonesia terkenal dengan budaya gotong-royongnya. Saling
membantu sesama dengan ikhlas tanpa melihat latar belakang serta saling memberi
tanpa melihat perbedaan agama dan suku. Saya sendiri merasa beruntung hidup
dilingkungan yang cukup menjunjung tinggi kebersamaan. Tidak peduli dengan
keturunan atau pun golongan, bila ada tetangga yang sedang kesusahan ya dibantu. Contoh nyata yang saya alami
adalah ketika momen buka puasa bersama. Pada saat itu tidak hanya teman saya
yang muslim saja yang membantu melancarkan acara tersebut tetapi juga teman
saya yang non muslim. Mereka membantu dengan tenaga maupun dana. Saya menjadi
lupa kalau saya sedang melepas rangkaian ibadah seharian yaitu berpuasa. Alangkah
indahnya jika seluruh masyarakat Indonesia seperti ini.
Ketiga,
diperlukan sebuah edukasi mengenai adanya upaya memburamkan dasar negara yang
berujung pada tercerai berainnya persatuan dan kesatuan. Pada zaman sekarang
perang tidak hanya dengan kontak fisik semata, melainkan dengan
pemikiran-pemikiran yang dapat dengan mudahnya disusupkan kepada masyarakat
awam. Kita bisa melihat banyak masyarakat dengan mudahnya terprovokasi untuk
bertindak anarki. Pikiran manusia dimanipulasi untuk kepentingan seseorang
dalam sebuah “perang” yang menginginkan
bangsa kita terpecah belah. Pemikiran-pemikiran tersebut ditanamkan diberbagai
kesempatan dan tempat seperti di kampus, di terminal, di diskusi-diskusi tidak
resmi dan lainya. Yang perlu menjadi pegangan bagi generasi muda adalah bahwa
dalam kehidupan termasuk kehidupan bernegara pasti selalu ada pihak yang tidak
senang dengan kedamaian dan kebahagiaan yang kita peroleh. Pihak yang tidak
senang melakukan segala cara seperti provokasi untuk merusak kebahagiaan kita.
Untuk itu bila ada suatu permasalahan lebih baik diselesaikan dengan mencari
akar permasalahannya terlebih dahulu dengan pikiran yang tenang dan jernih.
Biasakan kita bersikap kritis terhadap sesuatu yang menurut kita tidak sesuai
dan diskusikan hal tersebut dengan orang yang kita percaya.
Ketiga
hal tersebut menurut saya dapat meminimalisir terkikisnya kebhinnekaan di
Indonesia. Dalam prakteknya ketiga hal tersebut dapat berarti jika semua
komponen bangsa menjalankannya. Dari tokoh Balian dalam film Kingdom of Heaven,
setidaknya dapat kita saksikan bahwa Balian sudah menjalankan poin kedua dan
ketiga. Balian bergotong royong bersama pasukannya yang berasal dari berbagai
latar belakang dan juga penduduk Jerusalem yang heterogen untuk mempertahankan
kota Jerusalem. Selain itu Balian juga tidak terprovokasi dengan sikap fanatik
Guy de Lusignan dan Reynald de Chatillon. Hasilnya kita dapat kita lihat di
akhir film bahwa penduduk muslim dan non muslim dapat hidup bersama dengan
damai. Semoga hal seperti itu juga tercipta di negeri ini, Republik Indonesia, Republic of Heaven.
[1] Soedito
Adjisoedarmo, dkk, Jatidiri Unsoed, Purwokerto
: Universitas Jenderal Soedirman, 2011, hlm.64.
No comments:
Post a Comment