Chat Box

4/9/13

Abduh, Politik dan Agama


Oleh : Mahfud M.D., Guru Besar Hukum Konstitusi

Saking jengkelnya terhadap politik dan politisi, seorang mujadid Islam sekaliber Muhammad Abduh (1849–1905) pernah mengatakan begini, “Audzu billaahi minas siyaasati was siyaasiyyien (aku berlindung kepada Allah dari godaan politik dan para politisi).” Ini hampir sama dengan doa taawwudz yang berbunyi, “Audzu billaahi minas syaithaanir rajiim (aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk).” 

Pernyataan sang mujadid memang menyentak, bukan hanya pada saat diucapkan kira-kira 120 tahun yang lalu, tetapi juga menyentak dan relevan sampai sekarang, di sini, di negara kita ini. Saat ini banyak sekali gugatan masyarakat terhadap politik dan politisi kita lantaran banyaknya korupsi, kolusi, dan lemahnya hukum. Ikan-ikan dilaut di curi orang, kayu-kayu di hutan ditebang dan dijual secara liar, pertambangan dijarah dengan kolusi, uang negara dikorupsi,hukum tidak bisa ditegakkan. 

Masyarakat sering merasakan bahwa pengorganisasian dan pengaturan negara seperti mewujud menjadi jaringan korupsi dan kolusi. Semua itu banyak disebabkan permainan politik, politisi, dan pejabat-pejabat penting. Namun apakah politik itu harus dijauhi orang-orang yang beragama? Tidak. Malah orang yang beragama dengan benar dan ingin menegakkan kebenaran haruslah berpolitik. 

Guru Muhammad Abduh sendiri,Jamaluddinal-Afghany, justru setengah mewajibkan umat Islam berpolitik. Katanya, agar kebijakan negara bisa memancarkan keagungan ajaran Islam, orang-orang Islam harus mengisi kursikursi parlemen melalui kegiatan politik. Substansi pernyataan Al-Afghany tersebut sama belaka dengan apa yang dikemukakan secara berapiapi oleh Bung Karno pada sidang Badan Penyelidik Usaha- Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) tanggal 1 Juni 1945. 

Pada pidatonya itu Bung Karno mengemukakan bahwa kalau orang-orang Islam ingin agar hukum-hukum di Indonesia bercorak Islam, hendaknya orang-orang Islam berjuang untuk merebut sebanyakbanyaknya kursi di parlemen sehingga bisa memengaruhi pembuatan hukum. Begitu pula jika orang-orang Kristen menginginkan agar hukumhukum di Indonesia ber-letter Kristen, orang-orang Kristen harus berjuang sekuat-kuatnya untuk merebut kursi-kursi di parlemen. 

Untuk orang-orang Islam, apa yang dikemukakan Al- Afghany dan Soekarno itu didasarkan pada kaidah ushul fiqh yang berbunyi, “Maa laa yatimmul waajib illaa bihii fa huwa waajib (jika sesuatu kewajiban itu tidak dapat dilakukan tanpa adanya atau tanpa melakukan sesuatu yang lain, mengadakan atau melakukan sesuatu yang lain itu wajib juga adanya).” Jika menegakkan amar makruf nahi munkar atau menegakkan keadilan dan kebenaran itu tidak dapat terlaksana dengan baik tanpa berpolitik,berpolitik itu hukumnya menjadi wajib. 

Karena hidup dalam organisasi negara itu adalah keharusan yang tak bisa dihindari setiap manusia dan jalannya organisasi negara itu selalu didasarkan pada aturan main politik dan kontestasi politik, untuk menjadikan nilai-nilai kebenaran dan keadilan sebagai dasar-dasar kebijakan negara kita harus berpolitik. 

Tak mungkinlah kita memperjuangkan kebenaran, keadilan, dan tegaknya hukum kalau kita tidak menggunakan instrumen dan proses politik. Itulah sebabnya, Imam al- Ghozaly yang dikenal sebagai hujjatul Islam itu mengatakan bahwa ad-dien was-sulthaan taw’amaan, memperjuangkan kebaikan agama dan mempunyai kekuasaan politik adalah dua saudara kembar. 

Sungguh musykil Anda akan bisa memperjuangkan nilai-nilai agama yang luhur jika tidak mempunyai kekuasaan politik, sebaliknya Anda bisa menjadi sesat dan jahat dalam berpolitik kalau tidak didasarkan pada nilai-nilai luhur agama. Agama apa pun yang Anda peluk. Mengapa Abduh begitu alergi dan garang terhadap politik? Mengapa pula, sebaliknya, Al-Ghazaly dan Al-Afghany mengharuskan kita berpolitik? 

Jawabannya,mungkin, sederhana. Abduh berbicara tentang das sein atau fakta yang dilihat dan dialami sendiri pada masa itu, saat politik dikerjakan secara kotor, keji, penuh fitnah, dan koruptif. Adapun Al- Ghazaly dan Al-Afghany berbicara tentang das sollen atau keharusan untuk berpolitik secara bersih guna memperjuangkan nilai-nilai agama yang luhur. 

Tampaknya,saat ini,kita sedang dihadapkan atau dipaksa melihat permainan politik seperti yang dirasakan dan dilihat oleh Abduh.Di depan mata kita, di negeri ini, permainan politik oleh banyak politikus sudah begitu kotornya. Politikus yang tertangkap melakukan korupsi masih membawabawa nama Tuhan dengan mengatakan tanpa tahu malu, “Ini ujian dari Allah karena Allah akan membesarkan partai kami.” 

Astaghfirullah, ini gila. Alih-alih mengaku salah dan minta maaf sesuai dengan ajaran agama, malah mencari-cari alasan pembenar dengan membawa-bawa nama Allah. Meskipun begitu, kita tak boleh membuang das sollen, kita tidak boleh mengharamkan berpolitik, sebab yang terjadi sekarang ini adalah insidental saja. 

Kita harus tetap berpolitik sebagai kenyataan yang tak terhindarkan dan harus menyehatkan parpol sebagai alat perjuangan yang sah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Kita tidak boleh terbawa oleh hujatan masyarakat yang marah dan berteriak agar parpol dihapus, melainkan harus bekerja keras untuk menyehatkan parpol. Parpol adalah keniscayaan di dalam negara demokrasi. 

Di dalam negara konstitusional yang demokratis lebih baik ada parpol meskipun jelek daripada tidak ada parpol.Kesadaran kolektif yang harus dibangun adalah “sehatkan parpol”.

sumber : koran-sindo.com 

Pendidikan Mengubah Diriku


Mulai sekarang, saya juga menampilkan tulisan dari tokoh-tokoh yang menginspirasi saya.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Oleh : Prof.Dr.Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Saya yakin judul di atas tidak saja berlaku untuk diriku, tetapi juga pembaca semua. Pendidikanlah yang sangat besar jasanya dalam mengubah nasib seseorang, bahkan juga sebuah bangsa dan negara. Saya terlahir di Pabelan, sebuah desa tergolong miskin dekat Candi Borobudur, Magelang, akhir 1953. 

Memasuki usiaku yang ke-10, kenangan yang terekam adalah kehidupan desa yang padat penduduk, namun miskin. Sawah sempit, panen rusak dimakan hama tikus. Masih terngiang di benakku, waktu itu komunis tengah berjaya. Sewaktu kelas empat SD (sekolah dasar), saya pernah diajar Bu Romlah, orangnya cantik dan lincah. 

Ketika agak kesal melihat kenakalan anak-anak muridnya, dia berkata: ”MasakAllah, gorengnabi”. Belakangan saya baru tahu bahwa dia seorang tokoh Gerwani, underbow PKI. Ada lagi Pak Guru Suparman. Orangnya baik, mengajarnya bagus, tegas, layaknya militer. Selang beberapa tahun saya bertemu, dia baru keluar dari tahanan karena dituduh terlibat makar yang dilakukan PKI. Dia kader Pemuda Rakyat. 

Antara tahun 1963-1965 kehidupan sosial di desaku terasa gersang. Pengemis dan pengangguran di mana-mana. Yel-yel ganyang Malaysia dan Ganefo sering terdengar. Orang mengartikan Ganefo: Segane tempo. Nasinya tertunda akibat kemarau panjang dan panen rusak. Orang kampung banyak yang makan bulgur, paling banter nasi bubur encer. Sawah kering. Kalaupun panen, kalah dengan tikus. 

Sampai-sampai Pak Jumali, kepala sekolah, pernah berpidato dengan semangat sehabis apel pengibaran bendera: ”Anak-anakku semua, mari ramai-ramai berburu menangkap tikus. Tikus-tikus itu telah memakan padi yang menjadi hak kita. Sekarang kita balas tikustikus itu kita masak dan kita makan”. Dalam usiaku antara 12-14 tahun, saya sudah bisa menangkap ketegangan yang terjadi antara umat Islam dan kelompok komunis. 

Melihat kondisi sosial perdesaan yang miskin, ayah mengirim saya belajar di Sekolah Teknik Kanisius Muntilan, jurusan pertukangan kayu. Alasannya sederhana: agar nanti mudah mendapatkan pekerjaan. Ayah melihat mereka yang memiliki keahlian tukang kayu tingkat ekonominya lebih baik daripada buruh tani. Rumahnya lebih bagus dan tertata dibanding yang lain. Panggilan tawaran kerja selalu berdatangan untuk memperbaiki atau membangun rumah. 

Demikianlah, saya ternyata tidak sampai setahun memilih keluar dari STK Muntilan. Merasa kurang cocok mempelajari pertukangan. Daripada jadi pengangguran, saya mendaftarkan diri masuk pendidikan pesantren yang dimotori oleh Kiai Hamam Ja’far yang dibuka pada 1965. Jumlah temanteman sekelas angkatan pertama ini sebanyak 28 santriwansantriwati. Tempat belajar di serambi masjid. Ada bangunan pesantren tua di samping masjid yang bisa ditempati sebagai asrama bagi santriwan. 

Santri angkatan pertama ini semuanya anak-anak desa yang sebagian besar pengangguran karena tidak sanggup meneruskan sekolah ke tingkat lanjut setamat SD. Ada juga beberapa santri jebolan SMP, tidak sampai tamat. Yang menarik, meski kami anak-anak desa dan tempat belajar pun sangat sederhana, suasana belajar berlangsung serius. Kiai Hamam Ja’far dibantu beberapa ustaz sebagai asistennya. Dua di antaranya mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, famili Kiai Hamam. 

Semua guru, dalam bahasa disebut ustaz, masuk kelas dengan mengenakan dasi. Mata pelajaran mencakup pelajaran agama dan umum. Kiai selalu menekankan, hidup itu indah, dunia itu luas, Allah telah menyediakan semua yang dibutuhkan manusia. Tapi, hanya mereka yang memiliki iman, ilmu, dan akhlak yang akan menikmati dunia ini dengan baik dan benar. Apa-apa yang dianggap benar belum tentu ujungnya baik. ”Tetapi, kalau kita menjaga kebaikan, lamalama akan mendapatkan kebenaran,” kata Kiai. ”Kebaikan diraih dengan akhlak, kebenaran diraih dengan ilmu,” tandasnya. 

Nilai-nilai kehidupan yang selalu disampaikan Kiai Hamam Ja’far (alm) sangat memotivasi para santri untuk belajar dan berani menghadapi hidup. Metode pengajaran yang oleh para ahli disebut integrated approach, life skill, quantum learning, fun and joyful learning, latihan otak kanan, dan entah istilah apa lagi, rasanya semua itu pernah saya dapatkan sewaktu belajar di pesantren. 

Etos cinta ilmu sangat ditekankan. Saya sendiri tidak memiliki citacita yang jelas nanti mau jadi apa, atau bekerja apa, tetapi yakin bahwa selama seseorang mencintai ilmu, menjaga integritas, pasti mudah bergaul dan diterima masyarakat, di mana pun berada. Menjalani hidup dengan ikhlas, mandiri, sederhana, berwawasan luas, cinta ilmu menjadi ideologi pesantren yang saya temui dan rasakan waktu itu. 

Buahnya, meski hidup di tengah masyarakat desa yang miskin, duniaku terasa sangat luas, melampaui budaya dan mimpi-mimpi masyarakat sekelilingku. Lewat pelajaran bahasa Arab, terbangun imajinasi dan keinginan untuk mengunjungi negara-negara Timur Tengah. Persepsiku waktu itu, dunia Arab adalah dunia yang penduduknya muslim semuanya, sebuah masyarakat ideal yang dekat dengan pusat Islam. Betapa senangnya andaikan suatu saat bisa berkunjung ke sana. 

Lain halnya ketika belajar bahasa Inggris. Muncul imajinasi tentang dunia Barat, masyarakat kulit putih yang sangat maju dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendeknya, belajar bahasa asing bagaikan membuka jendela dunia dan bahasa asing adalah sayap untuk terbang menelusuri khazanah budaya dan intelektual di luar batas budaya Indonesia. 

Pandangan seperti itu mulai tertanam ketika belajar di pesantren meski di antara kegiatan kami adalah mengurus kambing, ikan, dan kerja bakti mengangkut batu dan pasir untuk membangun ruang belajar yang sederhana. Suasana belajar serasa sebagai suasana bermain, bekerja, beribadah, serta membangun mimpi-mimpi tentang masa depan. Terjadi sebuah blessing in disguise. 

Santri angkatan pertama ini belajarnya tidak teratur, berbeda dari santri-santri angkatan berikutnya yang mulai berdatangan dari luar kota, bahkan luar Jawa. Teman sekelasku semakin berkurang. Ada yang berumah tangga, bekerja, dan juga membantu dapur dan administrasi pesantren. Melihat perkembangan demikian, muncul tekad di hatiku, tak ada masa depan di desaku ini. 

Pondok pesantren saya pandang sebagai busur yang telah menempa diriku menjadi anak panah. Tiba saatnya saya mesti melepaskan diri melesat dari almamater tercinta. Jakarta, ibu kota negara, adalah kota impian untuk membangun mimpi-mimpi. Di sini penuh madu, dan saya mendaftarkan diri bagaikan semutnya. Ibu Kota bak lumbung padi, saya mesti lebih pintar dari sekadar seekor ayam. 

Setelah melalui berbagai jalan berliku, tahun 1974 saya masuk Jakarta dan tak lama prosesnya tercatat sebagai mahasiswa IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Syarif Hidayatullah, yang sekarang berubah menjadi UIN (Universitas Islam Negeri). Hidup adalah journey yang tak pernah berakhir. 

Di depan kita terbentang seribu satu kemungkinan. Tak ada bekal paling berharga kecuali pendidikan dan tekad. Hanya pendidikan yang mampu mengubah nasib seseorang dan suatu bangsa. Ini saya alami, saya rasakan, dan saya yakini. 

Terlahir di desa yang miskin, belajar di serambi masjid, mimpi-mimpi berkunjung ke luar negeri yang terbangun ketika memulai belajar bahasa Arab dan Inggris telah menjadi kenyataan. Tidak kurang dari 35 negara pernah saya kunjungi. Ada yang pergi untuk belajar, seminar, ibadah haji, rekreasi, bahkan hanya untuk bermain golf.

sumber : koran-sindo.com

Memajukan Pertanian Indonesia


Ini artikel yang saya kirim ke Koran Sindo, dengan keyakinan pasti tembus. Tapi ternyata, alamat emailnya sudah ganti..saya kurang info karena di Purwokerto ga ada Koran Sindo..tapi ga apa-apa yang penting bisa dibaca di sini. hehehehe...

nb:komentar, kritik dan sarannya ditunggu... :P


Sekor pertanian memegang peranan penting dalam kesejahteraan rakyat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada semester I tahun 2012, sektor pertanian menyumbang sekitar 15 % dari keseluruhan Produk Domenstik Bruto (PDB) Indonesia. Sektor pertanian juga menyerap sekitar 41,2 % dari jumlah keseluruhan tenaga kerja per Februari 2012. Selain itu, sektor pertanian merupakan salah satu sumber devisa melalui kegiatan ekspor. Namun, yang terpenting, sektor pertanian merupakan tulang punggung ketahanan pangan Indonesia.

Kondisi pertanian Indonesia saat ini sangat miris. Kita masih mengimpor berbagai komoditas pertanian dari negara lain. Bahkan, untuk komoditas yang di atas kertas bisa terpenuhi oleh   produksi dalam negeri, seperti beras, kita masih impor. Kegiatan impor berpotensi memperbesar defisit neraca perdagangan sehingga berdampak pada turunnya pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu, kesejahteraan rakyat yang sebagian besar berkerja di sektor pertanian tidak mengalami peningkatan berarti.

Banyak upaya yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan sektor pertanian sebagai kekuatan utama dalam mencapai kemakmuran bangsa. Untuk meningkatkan produksi dalam negeri misalnya, Pemerintah bisa membuka lahan pertanian baru dalam jumlah yang besar. Selain itu, bisa juga dengan memanfaatkan lahan marjinal yang terhampar luas di Indonesia. Luas lahan marjinal diperkirakan seluas 126 juta hektar, jauh lebih luas dari lahan pertanian yang sudah ada yaitu sekitar 17,9 juta hektar.

Produksi juga dapat  ditingkatkan dengan merekayasa genetika tanaman. Dengan rekayasa genetika, akan diperoleh varietas yang memiliki produktivitas yang lebih tinggi dari varietas yang sudah ada sebelumnya. Teknik budidaya juga berpengaruh pada hasil produksi. Contohnya petani padi yang menerapkan teknik System of Rice Intensification (SRI). Dengan metode SRI, produktivitas dapat meningkat 50 %.

Semua itu tidak akan berarti tanpa perhatian penuh dari Pemerintah. Langkah yang diambil Pemerintah dapat berupa kebijakan yang melindungi petani dari kerugian, ketegasan dalam hal perizinan konversi lahan, memberikan bantuan dana penelitian,  memberikan suntikan modal untuk petani, meningkatkan wawasan petani dan mereklamasi lahan-lahan kritis

Masyarakat juga diharapkan untuk tidak menggunakan lahan pertanian untuk kepentingan pribadi atau bisnis semata. Untuk itu diperlukan kesadaran masyarakat akan pentingnya lahan pertanian. 

Jumlah penduduk Indonesia pada saat ini sekitar 240 juta orang. Produksi gabah kering giling (GKG) tahun 2012 sekitar 68 juta ton. Angka tersebut diperoleh dari 13,4 juta hektar luas panen padi dengan produktivitas rata-rata 5,1 ton GKG/ha. Jika rendemen beras sebesar 65%, maka dihasilkan sekitar 44,8 juta ton beras. Konsumsi beras per kapita per tahun sebesar 139 kg (BPS, 2010), maka dengan demikian dalam satu tahun dibutuhkan pasokan beras sebanyak 33,36 juta ton.

Jika setiap tahun laju pertumbuhan jumlah penduduk sebesar 1,5 % , luas panen dan produktivitas padi tetap, konsumsi beras per kapita per tahun tetap, maka dipastikan pada tahun 2050 Indonesia mengalami krisis beras. Itu baru komoditi beras, bagaimana dengan komoditas lain seperti bawang merah, bawang putih dan kedelai? Itu baru masalah ketahanan pangan, bagaimana dengan kesejahteraan petani? Padahal sebagaian besar penduduk miskin di Indonesia berprofesi sebagai buruh tani. Untuk itu, memajukan sektor pertanian sangat penting. Ini adalah pekerjaan rumah (PR) kita semua.