Chat Box

9/13/13

Potensi Keberagaman Indonesia

Ini artikel saya yang pernah dimuat di Koran Sindo tanggal 23 Juli 2013


KEBERAGAMAN MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN

Indonesia terletak di antara dua samudera dan dua benua. Membentang dari timur ke barat membentuk sebuah gugusan kepulauan yang sangat besar. Luas daratan negara Indonesia sebesar 1.922.570 km persegi. Sedangkan luas lautan seluas 3.257.483 km persegi. Dalam hamparan yang luas terkandung kekayaan alam yang belum semua terjamah potensinya. Minyak bumi, gas alam serta mineral tambang belum sepenuhnya terungkap keberadaannya.

Kondisi geografis Indonesia yang berbeda-beda membuat perbedaan iklim dan unsur-unsurnya di setiap wilayah Indonesia. Wilayah dataran tinggi biasanya bersuhu rendah atau dingin. Untuk wilayah dataran pantai pada umumnya bersuhu tinggi atau panas. Kemudian perbedaan itu diperkaya dengan berbedanya curah hujan dan unsur-unsur iklim lain seperti kelembaban udara, kecepatan angin dan banyaknya radiasi matahari. Perbedaan kondisi alam yang demikian bervariasi membuat tanaman yang tumbuh di Indonesia sangat beragam. Hampir setiap daerah memiliki tanaman yang menjadi ciri khas di daerah tersebut. Hal itu terjadi karena setiap tanaman memiliki persyaratan tumbuh yang berbeda-beda. Ini yang menyebabkan suatu tanaman hanya akan tumbuh maksimal di daerah tertentu. Meskipun demikian, kita tetap bisa menumbuhkan tanaman tanpa memperhatikan syarat tumbuh tanaman karena tanah Indonesia pada dasarnya memang sangat subur namun hasilnya tidak maksimal.

Keberagaman flora di Indonesia merupakan potensi bagi setiap daerah untuk meningkatkan perekonomiannya. Jika suatu daerah fokus mengembangkan produk unggulan dari sektor pertanian dalam arti luas seperti, pertanian pangan, holtikultura, kehutanan, peternakan dan perikanan, maka kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut akan terangkat. Contohnya, suatu daerah memiliki potensi menghasilkan tanaman singkong dengan hasil produksi lebih besar dari daerah lainnya. Maka pemerintah daerah tersebut harus memberikan perhatian ekstra terhadap komoditi singkong. Perhatian harus diberikan mulai dari mempersiapkan lahan, menanam, panen, pengolahan hingga pemasarannya. Masyarakat di daerah tersebut harus diberikan pengetahuan tambahan agar dapat meningkatkan nilai tambah dari produk singkong. Produksi singkong yang melimpah dapat disalurkan ke daerah yang kekurangan pasokan singkong.

Supaya dapat berjalan dengan baik, semua harus dilandasi dengan komitmen yang kuat antara pemerintah daerah, pengusaha, petani dan masyarakat yang berada di daerah tersebut. Pemerintah bertanggung jawab dalam mengawasi, memberi pengarahan dan membuat kebijakan. Pengusaha berperan dalam menumbuhkan iklim usaha yang sehat. Petani sebagai pemain utama dapat bekerjasama dengan pengusaha dari berbagai bidang yang terkait dalam menyediakan faktor produksi, distribusi hasil produksi serta pengolahan produk segar.


Itu baru satu komoditi dari sektor pertanian. Belum komoditi lain seperti, jagung, jeruk, durian, cabai, melon, tomat dan produk pertanian lainnya. Kita belum berbicara sektor perikanan yang memiliki kekayaan sangat besar mengingat luasnya laut Indonesia. Hebatnya lagi, keragaman Indonesia tidak hanya ada pada keragaman flora dan faunanya. Masih ada keragaman berdasarkan perbedaan kebudayaan di setiap daerah. Semua itu juga memberikan potensi pemasukan bagi perekonomian Indonesia melalui sektor pariwisata. Untuk itu mari kita manfaatkan keberagaman yang ada untuk meningkatkan kesejahteraan!     

5/14/13

Keadilan Basis Nasionalisme


Moh Mahfud MD  ;  Guru Besar Hukum Konstitusi 
KORAN SINDO, 11 Mei 2013


Ketika memberikan sambutan saat menerima anugerah People of the Year 2010 dari harian Seputar Indonesia (kini KORAN SINDO) saya mengatakan, basis dan strategi nasionalisme kita ke masa depan adalah menegakkan hukum dan keadilan. 

Dulu kita membangun strategi nasionalisme melalui gerakan bersenjata, merapikan dan memperkuat tentara, menggalang dukungan rakyat melalui perang sabil dengan senjata seadanya. Lawan kita pada masa lalu adalah negara lain yang ingin menjajah atau ingin merampas kemerdekaan. Tepatnya, dulu kita membangun strategi nasionalisme dengan kesiapan penuh berperang melawan kekuatan negara lain yang ingin menjajah atau menghancurkan kita. 

Maka, dulu ada semboyan merdeka atau mati, merebut dan mempertahankan kemerdekaan atau mati tersungkur di hadapan tentara penjajah. Itu dulu. Pada saat ini musuh nyata nasionalisme yang kita hadapi adalah ketidakadilan dan lemahnya penegakan hukum. Tidak ada lagi sekarang ini negara lain yang ingin secara langsung mencaplok kedaulatan negara kita melalui kekuatan bersenjata. Tidak ada negara yang secara nyata akan mengambil kemerdekaan kita. 

Sehingga strategi pembangunan nasionalisme tak perlu dilakukan melalui penyiapan gerakan bersenjata untuk berperang secara fisik. Pada saat ini musuh paling nyata atas kelangsungan bangsa dan negara Indonesia adalah mafia hukum dan hilangnya keadilan sebagai sukma hukum. Kita harus katakan bahwa mafia hukum dan tidak tegaknya sukma hukum tersebut, yaitu keadilan, adalah ancaman bagi hancurnya negara yang tak kalah dahsyatnya bila dibandingkan dengan ancaman atau serangan fisik dari negara lain. 

Bahwa ketidakadilan mengancam kelangsungan negara bisa dibuktikan bukan hanya oleh ajaran agama yang bisa saja dianggap dogmatik-normatif tetapi dibuktikan oleh fakta. Di dalam agama Islam sangat dikenal hadis Nabi, bahwa hancurnya negara dan bangsabangsa di masa lalu tidak lain karena bila ada orang lemah melanggar hukum langsung dijatuhi hukuman, tetapi jika ada orang kuat, baik secara ekonomi maupun politik, melanggar hukum tidak jua dihukum. 

Jika hukum dan keadilan tidak ditegakkan, maka kehancuran suatu negara dan bangsa hanya menunggu waktu. Hadis Nabi ini didukung oleh fakta sejarah tentang timbul dan tenggelamnya bangsa-bangsa di masa lalu, seperti Mesir, Persia, Romawi, berbagai dinasti di Tiongkok, dan lain-lain. Sesudah wafatnya Nabi, berbagai khilafah dalam Islam pun banyak yang bubar karena kesewenang-wenangan dan ketidakadilan. 

Di Nusantara kita mengenal munculnya kerajaan-kerajaan besar yang kemudian tenggelam karena perang saudara yang menimbulkan saling fitnah dan ketidakadilan. Sebutlah hancurnya Kerajaan Singosari, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram, Sriwijaya, dan sebagainya. Kehancuran mereka selalu didahului oleh menguatnya hawa nafsu di kalangan elite yang kemudian menimbulkan konflik dan ketidakadilan. 

Jadi apa yang disabdakan oleh Nabi Muhammad bahwa “ketidakadilan akan menyebabkan hancurnya suatu negara” sudah dikonfirmasi oleh sejarah baik sejarah negara-negara sebelum Nabi hadir maupun sejarah-sejarah setelah Nabi wafat. Tak peduli negara itu negara Islam atau bukan Islam, kalau diperintah dengan penegakan hukum dan keadilan pastilah kuat. Sebaliknya, kalau diperintah dengan kezaliman dan penuh penipuan pastilah rapuh dan menuju kehancuran. 

Karena itu, siapa pun yang merasa punya rasa nasionalisme dalam arti benar-benar cinta terhadap negara dan bangsa Indonesia haruslah berkomitmen kuat untuk menegakkan hukum dan keadilan. Sebaliknya siapa pun yang membiarkan kesewenang-wenangan dan pelanggaran hukum, apalagi membelanya hanya karena “bayaran” atau karena “pertemanan”, maka orang yang seperti itu haruslah dinilai tidak mempunyai rasa nasionalisme dan (sebaliknya) mengkhianati amanat berdirinya negara dan bisikan hati nuraninya sendiri. 

Kita tentu sedih melihat betapa banyak di negara ini orangorang terdidik dan (katanya) agamais yang sudah mengunyah nikmatnya kemerdekaan negara Indonesia masih suka mempermainkan hukum. Ada yang membela orang secara membabi buta hanya karena dibayar atau hanya karena dijanjikan kompensasi politik. 

Ada juga yang membela temannya, meski bukti kejahatannya tak dapat dibantah oleh akal sehat yang sederhana sekalipun, dengan alasan yang dicari-cari tanpa risih. Dia sengaja mengabaikan pemaknaan yang sebaliknya, mahfhum mukhalafah, dari firman Allah yang menyatakan,“Janganlah kebencianmu terhadap satu kaum menyebabkan kamu berlaku tidak adil.”
Mafhum mukhalafah dari firman Tuhan ini ialah “Janganlah perkawananmu dengan seseorang menyebabkan kamu berlaku tidak adil dan berusaha menutup-nutupi kesalahan temanmu itu.”Acap kita melihat orang hebat yang hafal firman Allah tersebut dan selalu menceramahkannya, tetapi ketika kesalahan dilakukan oleh temannya atau oleh orang yang membayarnya justru si penjahat dibela habis-habisan dengan berbagai alasan. “Negara terancam bahaya kehancuran,”demikian dapat kita katakan meski mungkin ada yang menilainya agak bombastis. 

Terlepas dari soal penilaian bombastis atau tidak, lemahnya penegakan hukum dan keadilan di negeri ini memang sudah mengancam sendi-sendi kehidupan dan kelangsungan bernegara kita. Maka itu, kalau kita bukan pengkhianat terhadap bangsa dan hati nurani, marilah selamatkan negara ini dengan nasionalisme yang berbasis pada kesadaran untuk menegakkan “hukum dan keadilan”.

4/9/13

Abduh, Politik dan Agama


Oleh : Mahfud M.D., Guru Besar Hukum Konstitusi

Saking jengkelnya terhadap politik dan politisi, seorang mujadid Islam sekaliber Muhammad Abduh (1849–1905) pernah mengatakan begini, “Audzu billaahi minas siyaasati was siyaasiyyien (aku berlindung kepada Allah dari godaan politik dan para politisi).” Ini hampir sama dengan doa taawwudz yang berbunyi, “Audzu billaahi minas syaithaanir rajiim (aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk).” 

Pernyataan sang mujadid memang menyentak, bukan hanya pada saat diucapkan kira-kira 120 tahun yang lalu, tetapi juga menyentak dan relevan sampai sekarang, di sini, di negara kita ini. Saat ini banyak sekali gugatan masyarakat terhadap politik dan politisi kita lantaran banyaknya korupsi, kolusi, dan lemahnya hukum. Ikan-ikan dilaut di curi orang, kayu-kayu di hutan ditebang dan dijual secara liar, pertambangan dijarah dengan kolusi, uang negara dikorupsi,hukum tidak bisa ditegakkan. 

Masyarakat sering merasakan bahwa pengorganisasian dan pengaturan negara seperti mewujud menjadi jaringan korupsi dan kolusi. Semua itu banyak disebabkan permainan politik, politisi, dan pejabat-pejabat penting. Namun apakah politik itu harus dijauhi orang-orang yang beragama? Tidak. Malah orang yang beragama dengan benar dan ingin menegakkan kebenaran haruslah berpolitik. 

Guru Muhammad Abduh sendiri,Jamaluddinal-Afghany, justru setengah mewajibkan umat Islam berpolitik. Katanya, agar kebijakan negara bisa memancarkan keagungan ajaran Islam, orang-orang Islam harus mengisi kursikursi parlemen melalui kegiatan politik. Substansi pernyataan Al-Afghany tersebut sama belaka dengan apa yang dikemukakan secara berapiapi oleh Bung Karno pada sidang Badan Penyelidik Usaha- Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) tanggal 1 Juni 1945. 

Pada pidatonya itu Bung Karno mengemukakan bahwa kalau orang-orang Islam ingin agar hukum-hukum di Indonesia bercorak Islam, hendaknya orang-orang Islam berjuang untuk merebut sebanyakbanyaknya kursi di parlemen sehingga bisa memengaruhi pembuatan hukum. Begitu pula jika orang-orang Kristen menginginkan agar hukumhukum di Indonesia ber-letter Kristen, orang-orang Kristen harus berjuang sekuat-kuatnya untuk merebut kursi-kursi di parlemen. 

Untuk orang-orang Islam, apa yang dikemukakan Al- Afghany dan Soekarno itu didasarkan pada kaidah ushul fiqh yang berbunyi, “Maa laa yatimmul waajib illaa bihii fa huwa waajib (jika sesuatu kewajiban itu tidak dapat dilakukan tanpa adanya atau tanpa melakukan sesuatu yang lain, mengadakan atau melakukan sesuatu yang lain itu wajib juga adanya).” Jika menegakkan amar makruf nahi munkar atau menegakkan keadilan dan kebenaran itu tidak dapat terlaksana dengan baik tanpa berpolitik,berpolitik itu hukumnya menjadi wajib. 

Karena hidup dalam organisasi negara itu adalah keharusan yang tak bisa dihindari setiap manusia dan jalannya organisasi negara itu selalu didasarkan pada aturan main politik dan kontestasi politik, untuk menjadikan nilai-nilai kebenaran dan keadilan sebagai dasar-dasar kebijakan negara kita harus berpolitik. 

Tak mungkinlah kita memperjuangkan kebenaran, keadilan, dan tegaknya hukum kalau kita tidak menggunakan instrumen dan proses politik. Itulah sebabnya, Imam al- Ghozaly yang dikenal sebagai hujjatul Islam itu mengatakan bahwa ad-dien was-sulthaan taw’amaan, memperjuangkan kebaikan agama dan mempunyai kekuasaan politik adalah dua saudara kembar. 

Sungguh musykil Anda akan bisa memperjuangkan nilai-nilai agama yang luhur jika tidak mempunyai kekuasaan politik, sebaliknya Anda bisa menjadi sesat dan jahat dalam berpolitik kalau tidak didasarkan pada nilai-nilai luhur agama. Agama apa pun yang Anda peluk. Mengapa Abduh begitu alergi dan garang terhadap politik? Mengapa pula, sebaliknya, Al-Ghazaly dan Al-Afghany mengharuskan kita berpolitik? 

Jawabannya,mungkin, sederhana. Abduh berbicara tentang das sein atau fakta yang dilihat dan dialami sendiri pada masa itu, saat politik dikerjakan secara kotor, keji, penuh fitnah, dan koruptif. Adapun Al- Ghazaly dan Al-Afghany berbicara tentang das sollen atau keharusan untuk berpolitik secara bersih guna memperjuangkan nilai-nilai agama yang luhur. 

Tampaknya,saat ini,kita sedang dihadapkan atau dipaksa melihat permainan politik seperti yang dirasakan dan dilihat oleh Abduh.Di depan mata kita, di negeri ini, permainan politik oleh banyak politikus sudah begitu kotornya. Politikus yang tertangkap melakukan korupsi masih membawabawa nama Tuhan dengan mengatakan tanpa tahu malu, “Ini ujian dari Allah karena Allah akan membesarkan partai kami.” 

Astaghfirullah, ini gila. Alih-alih mengaku salah dan minta maaf sesuai dengan ajaran agama, malah mencari-cari alasan pembenar dengan membawa-bawa nama Allah. Meskipun begitu, kita tak boleh membuang das sollen, kita tidak boleh mengharamkan berpolitik, sebab yang terjadi sekarang ini adalah insidental saja. 

Kita harus tetap berpolitik sebagai kenyataan yang tak terhindarkan dan harus menyehatkan parpol sebagai alat perjuangan yang sah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Kita tidak boleh terbawa oleh hujatan masyarakat yang marah dan berteriak agar parpol dihapus, melainkan harus bekerja keras untuk menyehatkan parpol. Parpol adalah keniscayaan di dalam negara demokrasi. 

Di dalam negara konstitusional yang demokratis lebih baik ada parpol meskipun jelek daripada tidak ada parpol.Kesadaran kolektif yang harus dibangun adalah “sehatkan parpol”.

sumber : koran-sindo.com 

Pendidikan Mengubah Diriku


Mulai sekarang, saya juga menampilkan tulisan dari tokoh-tokoh yang menginspirasi saya.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Oleh : Prof.Dr.Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Saya yakin judul di atas tidak saja berlaku untuk diriku, tetapi juga pembaca semua. Pendidikanlah yang sangat besar jasanya dalam mengubah nasib seseorang, bahkan juga sebuah bangsa dan negara. Saya terlahir di Pabelan, sebuah desa tergolong miskin dekat Candi Borobudur, Magelang, akhir 1953. 

Memasuki usiaku yang ke-10, kenangan yang terekam adalah kehidupan desa yang padat penduduk, namun miskin. Sawah sempit, panen rusak dimakan hama tikus. Masih terngiang di benakku, waktu itu komunis tengah berjaya. Sewaktu kelas empat SD (sekolah dasar), saya pernah diajar Bu Romlah, orangnya cantik dan lincah. 

Ketika agak kesal melihat kenakalan anak-anak muridnya, dia berkata: ”MasakAllah, gorengnabi”. Belakangan saya baru tahu bahwa dia seorang tokoh Gerwani, underbow PKI. Ada lagi Pak Guru Suparman. Orangnya baik, mengajarnya bagus, tegas, layaknya militer. Selang beberapa tahun saya bertemu, dia baru keluar dari tahanan karena dituduh terlibat makar yang dilakukan PKI. Dia kader Pemuda Rakyat. 

Antara tahun 1963-1965 kehidupan sosial di desaku terasa gersang. Pengemis dan pengangguran di mana-mana. Yel-yel ganyang Malaysia dan Ganefo sering terdengar. Orang mengartikan Ganefo: Segane tempo. Nasinya tertunda akibat kemarau panjang dan panen rusak. Orang kampung banyak yang makan bulgur, paling banter nasi bubur encer. Sawah kering. Kalaupun panen, kalah dengan tikus. 

Sampai-sampai Pak Jumali, kepala sekolah, pernah berpidato dengan semangat sehabis apel pengibaran bendera: ”Anak-anakku semua, mari ramai-ramai berburu menangkap tikus. Tikus-tikus itu telah memakan padi yang menjadi hak kita. Sekarang kita balas tikustikus itu kita masak dan kita makan”. Dalam usiaku antara 12-14 tahun, saya sudah bisa menangkap ketegangan yang terjadi antara umat Islam dan kelompok komunis. 

Melihat kondisi sosial perdesaan yang miskin, ayah mengirim saya belajar di Sekolah Teknik Kanisius Muntilan, jurusan pertukangan kayu. Alasannya sederhana: agar nanti mudah mendapatkan pekerjaan. Ayah melihat mereka yang memiliki keahlian tukang kayu tingkat ekonominya lebih baik daripada buruh tani. Rumahnya lebih bagus dan tertata dibanding yang lain. Panggilan tawaran kerja selalu berdatangan untuk memperbaiki atau membangun rumah. 

Demikianlah, saya ternyata tidak sampai setahun memilih keluar dari STK Muntilan. Merasa kurang cocok mempelajari pertukangan. Daripada jadi pengangguran, saya mendaftarkan diri masuk pendidikan pesantren yang dimotori oleh Kiai Hamam Ja’far yang dibuka pada 1965. Jumlah temanteman sekelas angkatan pertama ini sebanyak 28 santriwansantriwati. Tempat belajar di serambi masjid. Ada bangunan pesantren tua di samping masjid yang bisa ditempati sebagai asrama bagi santriwan. 

Santri angkatan pertama ini semuanya anak-anak desa yang sebagian besar pengangguran karena tidak sanggup meneruskan sekolah ke tingkat lanjut setamat SD. Ada juga beberapa santri jebolan SMP, tidak sampai tamat. Yang menarik, meski kami anak-anak desa dan tempat belajar pun sangat sederhana, suasana belajar berlangsung serius. Kiai Hamam Ja’far dibantu beberapa ustaz sebagai asistennya. Dua di antaranya mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, famili Kiai Hamam. 

Semua guru, dalam bahasa disebut ustaz, masuk kelas dengan mengenakan dasi. Mata pelajaran mencakup pelajaran agama dan umum. Kiai selalu menekankan, hidup itu indah, dunia itu luas, Allah telah menyediakan semua yang dibutuhkan manusia. Tapi, hanya mereka yang memiliki iman, ilmu, dan akhlak yang akan menikmati dunia ini dengan baik dan benar. Apa-apa yang dianggap benar belum tentu ujungnya baik. ”Tetapi, kalau kita menjaga kebaikan, lamalama akan mendapatkan kebenaran,” kata Kiai. ”Kebaikan diraih dengan akhlak, kebenaran diraih dengan ilmu,” tandasnya. 

Nilai-nilai kehidupan yang selalu disampaikan Kiai Hamam Ja’far (alm) sangat memotivasi para santri untuk belajar dan berani menghadapi hidup. Metode pengajaran yang oleh para ahli disebut integrated approach, life skill, quantum learning, fun and joyful learning, latihan otak kanan, dan entah istilah apa lagi, rasanya semua itu pernah saya dapatkan sewaktu belajar di pesantren. 

Etos cinta ilmu sangat ditekankan. Saya sendiri tidak memiliki citacita yang jelas nanti mau jadi apa, atau bekerja apa, tetapi yakin bahwa selama seseorang mencintai ilmu, menjaga integritas, pasti mudah bergaul dan diterima masyarakat, di mana pun berada. Menjalani hidup dengan ikhlas, mandiri, sederhana, berwawasan luas, cinta ilmu menjadi ideologi pesantren yang saya temui dan rasakan waktu itu. 

Buahnya, meski hidup di tengah masyarakat desa yang miskin, duniaku terasa sangat luas, melampaui budaya dan mimpi-mimpi masyarakat sekelilingku. Lewat pelajaran bahasa Arab, terbangun imajinasi dan keinginan untuk mengunjungi negara-negara Timur Tengah. Persepsiku waktu itu, dunia Arab adalah dunia yang penduduknya muslim semuanya, sebuah masyarakat ideal yang dekat dengan pusat Islam. Betapa senangnya andaikan suatu saat bisa berkunjung ke sana. 

Lain halnya ketika belajar bahasa Inggris. Muncul imajinasi tentang dunia Barat, masyarakat kulit putih yang sangat maju dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendeknya, belajar bahasa asing bagaikan membuka jendela dunia dan bahasa asing adalah sayap untuk terbang menelusuri khazanah budaya dan intelektual di luar batas budaya Indonesia. 

Pandangan seperti itu mulai tertanam ketika belajar di pesantren meski di antara kegiatan kami adalah mengurus kambing, ikan, dan kerja bakti mengangkut batu dan pasir untuk membangun ruang belajar yang sederhana. Suasana belajar serasa sebagai suasana bermain, bekerja, beribadah, serta membangun mimpi-mimpi tentang masa depan. Terjadi sebuah blessing in disguise. 

Santri angkatan pertama ini belajarnya tidak teratur, berbeda dari santri-santri angkatan berikutnya yang mulai berdatangan dari luar kota, bahkan luar Jawa. Teman sekelasku semakin berkurang. Ada yang berumah tangga, bekerja, dan juga membantu dapur dan administrasi pesantren. Melihat perkembangan demikian, muncul tekad di hatiku, tak ada masa depan di desaku ini. 

Pondok pesantren saya pandang sebagai busur yang telah menempa diriku menjadi anak panah. Tiba saatnya saya mesti melepaskan diri melesat dari almamater tercinta. Jakarta, ibu kota negara, adalah kota impian untuk membangun mimpi-mimpi. Di sini penuh madu, dan saya mendaftarkan diri bagaikan semutnya. Ibu Kota bak lumbung padi, saya mesti lebih pintar dari sekadar seekor ayam. 

Setelah melalui berbagai jalan berliku, tahun 1974 saya masuk Jakarta dan tak lama prosesnya tercatat sebagai mahasiswa IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Syarif Hidayatullah, yang sekarang berubah menjadi UIN (Universitas Islam Negeri). Hidup adalah journey yang tak pernah berakhir. 

Di depan kita terbentang seribu satu kemungkinan. Tak ada bekal paling berharga kecuali pendidikan dan tekad. Hanya pendidikan yang mampu mengubah nasib seseorang dan suatu bangsa. Ini saya alami, saya rasakan, dan saya yakini. 

Terlahir di desa yang miskin, belajar di serambi masjid, mimpi-mimpi berkunjung ke luar negeri yang terbangun ketika memulai belajar bahasa Arab dan Inggris telah menjadi kenyataan. Tidak kurang dari 35 negara pernah saya kunjungi. Ada yang pergi untuk belajar, seminar, ibadah haji, rekreasi, bahkan hanya untuk bermain golf.

sumber : koran-sindo.com

Memajukan Pertanian Indonesia


Ini artikel yang saya kirim ke Koran Sindo, dengan keyakinan pasti tembus. Tapi ternyata, alamat emailnya sudah ganti..saya kurang info karena di Purwokerto ga ada Koran Sindo..tapi ga apa-apa yang penting bisa dibaca di sini. hehehehe...

nb:komentar, kritik dan sarannya ditunggu... :P


Sekor pertanian memegang peranan penting dalam kesejahteraan rakyat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada semester I tahun 2012, sektor pertanian menyumbang sekitar 15 % dari keseluruhan Produk Domenstik Bruto (PDB) Indonesia. Sektor pertanian juga menyerap sekitar 41,2 % dari jumlah keseluruhan tenaga kerja per Februari 2012. Selain itu, sektor pertanian merupakan salah satu sumber devisa melalui kegiatan ekspor. Namun, yang terpenting, sektor pertanian merupakan tulang punggung ketahanan pangan Indonesia.

Kondisi pertanian Indonesia saat ini sangat miris. Kita masih mengimpor berbagai komoditas pertanian dari negara lain. Bahkan, untuk komoditas yang di atas kertas bisa terpenuhi oleh   produksi dalam negeri, seperti beras, kita masih impor. Kegiatan impor berpotensi memperbesar defisit neraca perdagangan sehingga berdampak pada turunnya pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu, kesejahteraan rakyat yang sebagian besar berkerja di sektor pertanian tidak mengalami peningkatan berarti.

Banyak upaya yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan sektor pertanian sebagai kekuatan utama dalam mencapai kemakmuran bangsa. Untuk meningkatkan produksi dalam negeri misalnya, Pemerintah bisa membuka lahan pertanian baru dalam jumlah yang besar. Selain itu, bisa juga dengan memanfaatkan lahan marjinal yang terhampar luas di Indonesia. Luas lahan marjinal diperkirakan seluas 126 juta hektar, jauh lebih luas dari lahan pertanian yang sudah ada yaitu sekitar 17,9 juta hektar.

Produksi juga dapat  ditingkatkan dengan merekayasa genetika tanaman. Dengan rekayasa genetika, akan diperoleh varietas yang memiliki produktivitas yang lebih tinggi dari varietas yang sudah ada sebelumnya. Teknik budidaya juga berpengaruh pada hasil produksi. Contohnya petani padi yang menerapkan teknik System of Rice Intensification (SRI). Dengan metode SRI, produktivitas dapat meningkat 50 %.

Semua itu tidak akan berarti tanpa perhatian penuh dari Pemerintah. Langkah yang diambil Pemerintah dapat berupa kebijakan yang melindungi petani dari kerugian, ketegasan dalam hal perizinan konversi lahan, memberikan bantuan dana penelitian,  memberikan suntikan modal untuk petani, meningkatkan wawasan petani dan mereklamasi lahan-lahan kritis

Masyarakat juga diharapkan untuk tidak menggunakan lahan pertanian untuk kepentingan pribadi atau bisnis semata. Untuk itu diperlukan kesadaran masyarakat akan pentingnya lahan pertanian. 

Jumlah penduduk Indonesia pada saat ini sekitar 240 juta orang. Produksi gabah kering giling (GKG) tahun 2012 sekitar 68 juta ton. Angka tersebut diperoleh dari 13,4 juta hektar luas panen padi dengan produktivitas rata-rata 5,1 ton GKG/ha. Jika rendemen beras sebesar 65%, maka dihasilkan sekitar 44,8 juta ton beras. Konsumsi beras per kapita per tahun sebesar 139 kg (BPS, 2010), maka dengan demikian dalam satu tahun dibutuhkan pasokan beras sebanyak 33,36 juta ton.

Jika setiap tahun laju pertumbuhan jumlah penduduk sebesar 1,5 % , luas panen dan produktivitas padi tetap, konsumsi beras per kapita per tahun tetap, maka dipastikan pada tahun 2050 Indonesia mengalami krisis beras. Itu baru komoditi beras, bagaimana dengan komoditas lain seperti bawang merah, bawang putih dan kedelai? Itu baru masalah ketahanan pangan, bagaimana dengan kesejahteraan petani? Padahal sebagaian besar penduduk miskin di Indonesia berprofesi sebagai buruh tani. Untuk itu, memajukan sektor pertanian sangat penting. Ini adalah pekerjaan rumah (PR) kita semua.

3/16/13

Rukmakala


Tulisan ini sebenarnya sudah lama mau saya posting. Tapi baru sempat sekarang hehehe...selamat membaca.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------


Pemilu baru akan dimulai tahun depan. Semua pelaku politik mulai merapatkan barisan. Membenahi yang dirasa kurang beres, memperbaiki yang dirasa kurang baik. Meskipun masih ada waktu kurang lebih satu tahun, para elite politik tidak ingin membuang-buang waktu. Mungkin yang ada dalam benak mereka, semakin cepat berbernah semakin besar peluang memenangi pemilu 2014. Salah satu aksi “beres-beres’ yang hangat dibicarakan adalah tindakan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengambil alih Partai Demokrat (PD). SBY dan beberapa elite PD menilai Anas sebagai biang keladi merosotnya elektabilitas PD.

Bertindak sebagai ketua majelis tinggi partai, SBY meminta ketua umum PD, Anas Urbaningrum untuk fokus terhadap kasus dugaan korupsi yang menimpa Anas.  Memang tidak ada salahnya mengurus parpol, namun bila dilakukan dengan terburu-buru dapat menjadi bumerang. Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Presiden berserta jajaran kementerian. Pertumbuhan ekonomi yang menurun dan tidak meratanya kesejahteraan rakyat merupakan bagian dari pekerjaan rumah itu.

Banyak yang mempertanyakan keseriusan presiden dan kabinet dalam menyikapi masalah negara di tahun politik ini. Mengapa presiden harus turun tangan membenahi parpolnya?. Mengapa menteri kabinet juga ikut sibuk mengurus parpol?.

Di balik setiap tindakan manusia terdapat beribu alasan logis dan faktor yang berpengaruh. Salah satu faktor yang mungkin berpengaruh adalah Rukmakala. Dalam dunia perwayangan, ada sebuah lakon yang berjudul Dewa Ruci. Dalam kisah tersebut seorang ksatria bernama Bima ditugaskan gurunya untuk mencari air kehidupan yang dapat menuntunnya menuju kesempurnaan sejati.

Pada perjalanan yang penuh rintangan tersebut Bima bertemu dua raksasa. Salah satu dari dua raksasa itu bernama Rukmakala. Rukma berarti emas yang identik dengan harta dan tidak jauh perkara takhta, sedangkan Kala berarti raksasa. Rukmakala boleh jadi merupakan simbol harta dan takhta yang bisa menjadi penghambat atau penggoda manusia dalam mencapai tujuan mulia.

Pada setiap tahun politik banyak elite parpol yang mengumbar janji-janji yang isinya sangat mulia. Entah dilandasi hati nurani atau sekedar ingin membesarkan Rukmakala dalam diri, yang jelas menjelang tahun politik berikutnya tujuan mulia yang dulu digaungkan tidak terdengar lagi. Mungkin yang mereka lihat adalah Rukmakala yang sudah menjadi besar, sehingga perlu waktu dan tempat ekstra untuk memeliharanya. Apapun mereka lakukan demi mempertahankan raksasa tersebut. Berbanding terbalik dengan yang dilakukan Bima, sebagai seorang ksatria yang memiliki tujuan mulia, dia berani melawan raksasa tersebut. Dengan dilandasi kesungguhan hati dan niat tulus, Bima mampu mengalahkan Rukmakala dan melewati berbagai rintangan hingga akhirnya mencapai kesempurnaan hidup.

Alangkah indahnya jika orang-orang yang mau mengurus negara ini adalah mereka yang jujur, adil, tulus, ikhlas dan bersungguh-sungguh menjalani pengabdiannya. Mereka yang mampu mengalahkan Rukmakala dalam diri sendiri, akan mendapatkan pengakuan dan dukungan rakyat tanpa perlu kampanye. Tidak perlu memikirkan elektabilitas yang menurun karena rakyat tidak membutuhkannya. Rakyat hanya butuh kerja nyata seorang pemimpin. Terlepas dari fokus atau tidaknya presiden dan kabinet dalam menggapai tujuan mulianya, rakyat Indonesia selalu berharap memiliki pemimpin yang tidak silau harta dan takhta.

2/2/13

Narkoba Musuh Umat Manusia

tulisan ini juga merupakan artikel yang saya kirim ke koran SINDO. tulisan ini dimuat pada SINDO edisi 02/02/2013 halaman 9.

selamat membaca :)



Belakangan ini media cetak maupun elektronik banyak yang memberitakan keberhasilan Badan Narkotika Nasional (BNN) menangkap belasan orang yang diduga sedang pesta narkoba. Beberapa orang diantaranya adalah public figure yang sudah tidak asing bagi kita. Terlepas dari keterlibatan mereka dalam pesta tersebut, kita harus meningkat kewaspadaan karena semakin banyak saja tokoh masyarakat yang berurusan dengan barang haram tersebut. Narkoba tidak hanya meracuni kehidupan masyarakat biasa tetapi juga menyebar di kalangan artis, oknum pejabat sampai oknum penegak hukum. Adanya oknum penegak hukum yang ikut mengedarkan narkoba membuktikan bahwa narkoba dapat menggelapkan mata seseorang yang seharusnya paling mengerti akan bahaya narkoba.

Meluasnya penggunaan narkoba ini tentu merupakan masalah besar bagi negara ini. Narkoba ibarat senjata biologis pemusnah massal yang sangat efektif. Memusnahkan jiwa tetapi tidak merusak infrastruktur. Itulah senjata yang paling didambakan dalam kasus-kasus sengketa antar negara yang bermusuhan. Tetapi saya tidak akan membahas masalah sengketa ataupun invasi militer, yang ingin saya tekankan adalah narkoba ibarat senjata biologis berupa virus yang dapat merusak dan menghancurkan sel-sel kebangsaan. Layaknya virus HIV, narkoba merusak antibodi sehingga seseorang yang terinfeksi virus ini dapat terserang penyakit dengan mudah.

Antibodi – antibodi yang terdapat dalam tubuh bangsa ini adalah pemuda – pemuda penerus bangsa yang hidup di negara ini. Mereka adalah sasaran dari “virus” narkoba. Jika para pemuda sudah dibawah pengaruh “virus” narkoba ini, penyakit-penyakit kebangsaan akan mudah masuk menghancurkan bangsa ini. Langkah yang harus kita lakukan adalah membasmi “virus” tersebut dan mencegah agar “virus” ini tidak masuk ke tubuh bangsa. Untuk membasmi dan mencegah penyebaran “virus” narkoba diperlukaan suatu langkah nyata yang dapat menghentikan peredaran barang haram ini. Salah satu contohnya adalah dengan memotong jalur distribusi narkoba sehingga tidak masuk ke Indonesia. Kemudian diikuti dengan memberantas mafia – mafia narkoba sampai ke sarang-sarangnya. Langkah-langkah tersebut belum cukup untuk menghentikan penyebaran “virus” ini.

Narkoba memiliki sesuatu yang membuat seseorang rela dirusak olehnya. Narkoba menawarkan ilusi yang tidak terbatas bagi pemakainya sehingga mereka mendapatkan apa yang tidak bisa diraih dalam kenyataan sesungguhnya. Selain itu keuntungan finansial yang didapat dari bisnis narkoba ini sangat besar sehingga mereka yang senang mencari jalan pintas memilih berkecimpung di bisnis haram ini. Kedua hal tersebut yang membuat narkoba tetap eksis dan sulit diberantas. Jika demikian, apa yang menyebabkan seseorang mau meracuni diri dengan narkoba dan berani mengambil risiko dengan menjualnya?. Padahal mereka tahu narkoba dapat merusak badan dan menjualnya merupakan perbuatan yang melanggar hukum. Jika ditelaah lebih lanjut, sumber permasalahnya adalah kurang mampunya seseorang untuk berpikir jernih. Untuk mampu berpikir jernih, seseorang harus memiliki pikiran yang positif. Pikiran yang postif tumbuh dari pendidikan moral yang mendarah daging. Orang yang bermoral akan selalu berpegang pada kebenaran dan tidak mudah digoyahkan oleh iming-iming kekayaan.

Pendidikan moral sebaiknya diberikan pada anak sejak dini. Anak-anak harus diberikan informasi akan bahaya narkoba. Jika pada saat anak-anak sudah mengetahui bahaya narkoba, nantinya pada saat dewasa mereka dapat menepis godaan untuk mencoba narkoba. Jadi tindakan yang dilakukan selain membasmi dan mencegah beredarnya narkoba adalah penanaman pendidikan moral pada setiap indvidu penerus bangsa. Narkoba merupakan musuh umat manusia. Setiap orang berperan dalam memeranginya.

Bangsa Yang Dermawan

Tulisan ini merupakan artikel yang saya kirim ke koran SINDO..tapi gagal tembus hehehe..daripada mengendap di harddisk, saya post disini saja. 

selamat membaca :)




Pinjaman dana bantuan sebesar USD 1 Miliar ke IMF menuai pro dan kontra. Pihak yang pro beralasan bantuan yang bersumber dari  cadangan devisa itu tidak akan mempengaruhi perekonomian negara karena cadangan devisa yang  jumlahnya USD 111,5 miliar per Mei 2012 itu tidak akan hilang. Hal tersebut dikarenakan bantuan USD 1 Miliar itu diimplementasikan dalam bentuk pembelian surat berharga IMF. Ada juga yang menulis bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan dibawah.

Sedangkan di pihak yang kontra berpendapat bahwa Indonesia yang sebagian besar penduduknya berada di bawah garis kemiskinan tidak pantas membantu negara yang rakyatnya berpenghasilan dan memiliki indeks pembangunan yang lebih tinggi. Selain itu ada juga yang merasa Indonesia tidak perlu menyumbang bantuan ke IMF karena dahulu IMF pernah menyusahkan Indonesia dengan pemberian pinjaman yang kesepakatannya mengandung banyak syarat yang merugikan Indonesia.

Sebagai rakyat Indonesia apa sikap yang seharusnya kita ambil?. Menyetujui pemberian pinjaman ke IMF dengan alasan bahwa lebih baik memberi daripada meminta, atau menolak dengan dalih “buat apa membantu orang yang dahulu menyusahkan kita?”. Tentunya kita harus memutuskan sesuatu dengan pikiran yang jernih dan hati yang lapang. Jangan sampai ada penyesalan karena memutuskan sesuatu dengan emosi apalagi diliputi dendam kesumat.

Jika diminta memberikan keputusan antara menyetujui atau menolak, saya lebih memilih menyetujui pemberian pinjaman. Saya menyetujui karena beberapa hal, yang pertama sumber dana yang berasal dari cadangan devisa tidak hilang, artinya cadangan devisa tidak berkurang. Yang kedua pemerintah tidak memberikan pinjaman dengan bunga nol persen sehingga ada kemungkinan cadangan devisa akan bertambah dari pembayaran bunga tersebut. Dan yang terpenting adalah sikap membantu yang dimiliki Indonesia sangat menaikan kewibawaan bangsa kita di mata dunia.

Bangsa Indonesia suka membantu bukan karena “ada apanya” tetapi karena memang perilaku suka membantu atau tolong menolong merupakan sesuatu yang sebenarnya sudah ada dalam diri bangsa Indonesia. Dengan begini dunia akan tahu bahwa inilah Indonesia, negara yang sudah mandiri dan suka menolong sesama. Tunjukan bahwa kita bukan bangsa yang pelit, kita bangsa besar yang seharusnya menjadi panutan bangsa – bangsa lain. Jika masih saja perhitungan atau ngambek  karena merasa dicurangi di masa lalu, kapan kita akan menjadi bangsa yang dewasa?. Tidak ada batasan kaya atau miskin dalam memberikan bantuan. Yang namanya bantuan pasti akan bermanfaat walaupun bantuan tersebut digunakan untuk menyelamatkan pihak – pihak yang pernah menjerumuskan Indonesia.

Jadikan momen pemberian pinjaman ini sebagai ajang menunjukan identitas bangsa, jangan sampai bangsa kita dicap bangsa yang pelit dan harus selalu diberikan bantuan. Ada yang kesusahan, yaa kita bantu. Tak perlu pusing-pusing mengungkit apa yang telah dilakukan orang kepada kita apa lagi mengaitkan dengan teori konspirasi yang rumit karena orang yang berjiwa besar adalah orang yang memaafkan kesalahan orang lain. Menambahkan kutipan dari Bung Karno “ We were once a great nation and always will be a great nation !”.


oleh Anjar Suryo